Senin, 23 Mei 2016

Kaidah Amr dan Nahi



MAKALAH
”KAIDAH AMR DAN NAHI”
Makalah Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Ulumul Qur’an II
Dosen Pengampu: M. Hidayat Noor, M.Ag. 





Disusun Oleh :
Nisa Fauziah (15531016)

PRODI ILMU AL-QUR`AN  DAN  TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UIN SUNAN KALIJAGA
2016


A.  Pendahuluan
Seorang mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran harus mengetahui kaidah-kaidah dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Kaidah tafsir pada hakikatnya ialah ketetapan-ketetapan yang membantu seorang penafsir untuk menarik makna/pesan-pesan al-Qur’an, dan menjelaskan apa yang musykil dari kandungan ayat-ayatnya.[1] Oleh karena itu, seorang mufassir harus berpegang pada kaidah-kaidah tersebut, agar tidak terjadi penyimpangan atau kekeliruan dalam menafsirkan al-Qur’an. Di antara kaidah-kaidah yang digunakan mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an yaitu kaidah ushul fiqih. Kaidah-kaidah ushul fiqih ini yaitu kaidah yang berhubungan dengan penggalian hukum dengan mengunakan dalil-dalil terperinci. Seorang mufasir sangat penting untuk mengetahui kaidah tersebut yaitu memudahkan untuk menafsirkan ayat Al-Quran, juga agar tidak salah dalam mengambil suatu hukum dari ayat-ayat tersebut. Contoh kaidah-kaidah ushul fiqih seperti Amr dan Nahi, Amm dan Khass, Manthuq dan Mafhum, Mutlaq dan Muqayyad, Mujmal dan Mubayyan dan lain sebagainya.
Kaidah-kaidah ushul fiqih banyak sekali diadopsi oleh tafsir. Misalnya, “Perintah pada dasarnya mengandung makna wajib, kecuali jika ada yang mengalihkannya.”[2] Demikian juga dengan kaidah-kaidah yang lainnya. Oleh karena kaidah ushul fiqih merupakan salah satu kaidah yang penting dalam menafsirkan al-Qur’an, maka dalam makalah ini penulis akan sedikit membahas salah satu dari kaidah ushul fiqih tersebut, yaitu Amr dan Nahi. Dimulai dengan pengertian Amr, bentuk-bentuk lafadz amr dalam al-Qur’an, kaidah-kaidah amr serta pengertian nahi, bentuk-bentuk lafadz nahi dalam al-Qur’an dan kaidah-kaidah nahi.




B.  Amr
1.      Pengertian Amr
Amr menurut bahasa adalah perintah, suruhan, tuntutan. Sedangkan amr menurut istilah ialah:
طلب الفعل من الأعلى إلى الأدنى
“Suatu tuntutan untuk mengerjakan (atau berbuat sesuatu) dari yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah kedudukannya.”[3]
Bisa juga didefinisikan:
هولَفْظٌ يُطْلَبُ بِهِ الأَعْلَى مِمَّنْ هُوَ أَدْنَى مِنْهُ فِعْلاً غَيْرَ كَفٍّ
“Suatu lafadz yang dipergunakan oleh orang yang lebih tinggi derajatnya untuk meminta bawahannya mengerjakan sesuatu pekerjaan yang tidak boleh ditolak.”[4]
Menurut Khalid Abdurrahman, amr merupakan kata yang menunjukan permintaan untuk melakukan apa yang diperintahkan dari arah yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah. Maksud ungkapan yang lebih tinggi kedudukannya dalam al-Qur’an adalah Allah, sebagai pemberi perintah, sedangkan yang lebih rendah kedudukannya adalah makhluk sebagai pelaksana perintah.[5]
2.      Bentuk-bentuk Lafadz Amr[6]
Ada beberapa bentuk amr yang terdapat dalam al-Qur’an:
a.    Perintah yang jelas-jelas menggunakan fi’il amr
Seperti dalam surat an-Nisa ayat 4:
 وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
“Dan berikanlah kepada perempuan (dalam perkawinan) mas kawinnya dengan ikhlas; tetapi jika dengan senang hati mereka memberikan sebagian darinya kepadamu, terimalah dan nikmatilah pemberiannya dengan senang hati.”
b.    Kata perintah yang menggunakan fi’il mudhari’ (bentuk sedang atau akan terjadi) yang didahului oleh lam al-amr
Seperti dalam surat Ali Imran ayat 104:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُون
“Hendaklah di antaramu ada segolongan orang yang mengajak kepada kebaikan, menyuruh orang berbuat yang benar dan melarang perbuatan mungkar. Itulah orang-orang yang beruntung.”
c.    Kata kerja perintah yang berbentuk isim fi’il amr
Seperti dalam surat al-Maidah ayat 105:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Hai orang yang beriman, Jagalah dirimu sendiri. Orang yang sesat tidaklah merugikan kamu jika kamu sudah mendapat petunjuk. Kepada Allah kamu semua akan kembali. Kemudian diberitahukan kepadamu mengenai apa yang sudah kamu lakukan.”
d.   Kata kerja perintah berbentuk masdar pengganti fi’il
Seperti dalam surat al-Baqarah ayat 83:
وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْكُمْ وَأَنْتُمْ مُعْرِضُونَ
“Dan ingatlah ketika Kami menerima ikrar dari Bani Israil; tidak akan menyembah selain Allah, berbuat baik kepada orang tua dan kerabat, kepada anak yatim dan orang miskin dan  berbudi bahasa kepada semua orang; dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Tetapi, kemudian kamu berbalik, kecuali sebagian kecil di antara kamu (masih juga) menentang.”
e.    Kata kerja perintah yang berbentuk kalimat berita yang mengandung arti perintah atau permintaan
Seperti dalam surat al-Baqarah ayat 228:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“Perempuan-perempuan yang dicerai harus menunggu tiga kali quru’.”
f.     Kalimat yang mengandung kata amr, fardhu, kutiba (ditetapkan), dan ‘ala yang berarti perintah.
1). Kata amr, seperti dalam surat an-Nisa ayat 58.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
”Allah memerintahkan kamu menyampaikan amanat kepada yang layak menerimanya…”
2). Kata fardhu, seperti dalam surat al-Ahzab ayat 50.
قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا عَلَيْهِمْ فِي أَزْوَاجِهِمْ

“...Kami tahu apa yang kami perintahkan kepada mereka mengenai istri-istri mereka...”
3). Kata kutiba, seperti dalam surat al-Baqarah ayat 183.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, berpuasa diwajibkan atasmu sebagaimana telah diwajibkan atas mereka sebelum kamu, supaya kamu bertakwa.”
4). Kata ‘ala, seperti dalam surat Ali Imran ayat 97.
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
“...Mengerjakan ibadah haji ke sana (Baitullah) meupakan kewajiban manusia kepada Allah, yaitu bagi orang-orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke sana, dan barangsiapa yang mengingkarinya maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dari semesta alam.”
3.      Ragam Makna Amr
Terkadang sighat amr dipakai untuk hal-hal yang bermacam-macam, sesuai dengan tanda-tanda (Qarinah) yang menunjukkan ke arah itu, antara lain:
a.       Sunat (للندب)
فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا
“Maka hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka (budak) jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka.” (Q.S. an-Nur: 33)
b.      Memberi petunjuk/bimbingan (للارشاد)
وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ
“Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli.” (Q.S. al-Baqarah: 282)[7]
c.       Amr bermakna do’a, ketika disampaikan pihak yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi kedudukannya.
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً ...
“Ya Tuhan kami berilah kami kebaikan di dunia dan di akhirat..” (Q.S. al-Baqarah: 201)
d.      Ancaman (للتهديد)
...اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ...
”...Perbuatlah apa yang kamu sukai...” (Q.S. Fussilat: 40)
e.       Memuliakan (للاكرام)
ادْخُلُوهَا بِسَلَامٍ آمِنِينَ
“Masuklah ke dalamnya (surga) dengan sejahtera lagi aman.” (Q.S. al-Hijr: 46)
f.       Melemahkan (للتعجيز)
فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِه

“Buatlah satu surat saja semisal dengan al-Qur’an itu.” (Q.S. al-Baqarah: 24)[8]
g.      Kebolehan (للاباحه)
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا
“Dan makan dan minumlah; tetapi jangan berlebihan.” (Q.S. al-A’raf:31)[9]
4.      Kaidah-kaidah Amr
a.       Kaidah pertama:
  الاصل فى الامر للوجوب ولا تدل على غيره الا بقرينة[10]
Amr pada dasarnya menunjukkan arti wajib, kecuali adanya qarinah-qarinah tersebut yang memalingkan arti wajib tersebut.”
Contoh:
{وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاة} [النساء: 77]
“Dirikanlah shalat dan keluarkanlah zakat.” (Q.S. an-Nisa: 77)
b.      Kaidah kedua:
الامر بالشيء يستلزم النهي عن ضده[11]
  Amr atau perintah terhadap sesuatu berarti larangan akan kebalikannya.
Contoh:
وَاعْبُدُوا الله [النساء: 36]
”Dan Sembahlahlah Allah...” (Q.S. an-Nisa: 36)
Perintah mentauhidkan Allah atau menyembah Allah berarti larangan mempersekutukan Allah.
c.       Kaidah ketiga:
  الامر يقتضى الفور الا لقرينة
Perintah itu menghendaki segera dilaksanakan kecuali ada qarinah-qarinah tertentu yang menyatakan jika suatu perbuatan tersebut tidak segera dilaksanakan.
Contoh:
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَات
”...Berlomba-lombalah kamu dalam mengejar kebaikan...” (Q.S. al-Baqarah: 148)
d.      Kaidah keempat:
الأمر لا يقتضى الفور[12]
“Suatu suruhan atau perintah itu tidak menghendaki kesegeraan dikerjakannya.”
Contoh:
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجّ
”Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji (Q.S.Al-Hajj:27)
e.       Kaidah kelima:
الاصل فى الامر لا يقتضى التكرار
Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki pengulangan (berkali-kali mengerjakan perintah), kecuali adanya qarinah atau kalimat yang menunjukkan kepada pengulangan.
إذا عُلِّق الأمر على شرط, أو صفة فإنه يقتضي التكرار[13]
“Apabila mengaitkan perintah kepada syarat atau sifat maka sesungguhnya menghendaki pengulangan.”
Contoh:
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لله
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.” (Q.S. al-Baqarah: 196)
f.       Kaidah keenam:
الأمر بعدالنهي يفيدالاباحة
Perintah setelah larangan menunjukkan kebolehan.”
Contoh:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْع
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dipanggil untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli...” )Q.S. al-Jumu’ah:9)

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ الله
”Apabila shalat sudah ditunaikan maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah...” (Q.S. al-Jumu’ah:10)

C.    Nahi
1.      Pengertian Nahi
Lafazd nahi secara bahasa adalah النهي  yang berarti larangan. Sedangkan menurut istilah para ulama mendefinisikan nahi sebagai berikut:
    النهي هو طلب الترك من الاعلى الى ادنى
Nahi adalah tuntutan meninggalkan sesuatu yang datangnya dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya”.[14]
Khalid Abdurrahman mengartikan bentuk nahi sebagai perkataan atau ucapan yang menunjukkan permintaaan berhenti dari suatu perbuatan, dari orang yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah. An-nahy meenurut Sayyid Ahmad al-Hasyimi, merupakan tuntutan untuk mencegah berbuat sesuatu yang datang dari atas.[15]
2.      Bentuk-bentuk Lafadz Nahi[16]
Kata-kata yang menunjukan kepada larangan itu ada kalanya dalam bentuk:
a.       Fi’il mudhari’ yang diseratai La nahiyah, seperti:
{لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْض} [البقرة: 11]
“Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi...” (Q.S. al-Baqarah: 11)
b.      Lafadz-lafadz yang memberi pengertian haram, perintah meninggalkan sesuatu perbuatan, seperti:
1). Menggunakan kata حرم, seperti:
{وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّب} [البقرة: 275]
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Q.S. al-Baqarah: 275)
2). Menggunakan kata نهى, seperti:
{وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا} [الحشر: 7]
3). Menggunakan kata دع, seperti:
{وَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَالْمُنَافِقِينَ وَدَعْ أَذَاهُم} [الأحزاب: 48]
4). Menggunakan kata اترك, seperti:
{ وَاتْرُكِ الْبَحْرَ رَهْوًا} [الدخان: 24]

3.      Kaidah-kaidah Nahi
a.       Kaidah pertama:
الأصل في النهي للتحريم
“Pada dasarnya larangan itu untuk mengharamkan (sesuatu perbuatan yang dilarang).”[17]
Atau dalam kitab lain disebutkan:
النهي يقتضي التحريم والفور والدوام إلا لقرينة[18]
Nahi menghendaki atau menunjukkan haram, segera untuk dilarangnya,  kecuali ada qarinah-qarinah tertentu yang tidak menghendaki hal tersebut.”
Contoh:
{وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنى} [الإسراء: 32]
“Dan janganlah kamu mendekati zina.” (Q.S. al-Isra’: 32)
Lafadz nahi selain menunjukkan haram sesuai dengan qarinahnya juga menunjukkan kepada arti lain[19], seperti:
1).  Doa ( الدعاء ) seperti:
رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا
”Wahai Tuhan kami janganlah Engkau menyiksa kami, jika kami lupa (Q.S.Al-Baqarah:286)
2). Irsyad ( الارشاد ) memberi petunjuk seperti:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَسْأَلُواْ عَنْ أَشْيَاء إِن تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ ١٠١
”Wahai orng-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkanmu (Q.S.Al-Maidah:101)
3). Tahqiq ( التحقير) menghina seperti:
لاَ تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ -٨٨
”Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidup (Q.S.Al-Hijr:88)
4).  Ta’yis ( للتاييس ) menunjukkan putus asa seperti:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ كَفَرُوا لَا تَعْتَذِرُوا الْيَوْمَ -٧
”Janganlah kamu mengemukakan udzur pada hari ini (Q.S.At-Tahrim:7)
b.      Kaidah kedua:
النهي يقتضى الفساد
“Pada dasarnya larangan itu menghendaki fasad ( rusak).
Sebagaimana Rasulullah SAW. bersabda:                                       
 كل امر ليس عليه امرنا فهو رد
    “Setiap perkara yang tidak ada perintah kami, maka ia tertolak”.
Contoh:

{لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْض} [البقرة: 11]
“Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi...” (Q.S. al-Baqarah: 11)
c.       Kaidah ketiga[20]:
النهي عن الشئ أمربضده
“Larangan terhadap sesuatu berarti perintah kebalikannya.”
Contoh:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ} [المائدة: 90]
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. al-Ma’idah: 90)
d.      Kaidah keempat[21]:
الاصل في النهي المطلق يقتضي التكرار في جمع الازمنة
Pada dasarnya larangan yang mutlak menghendaki pengulangan larangan dalam setiap waktu.
Contoh:
{وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنى} [الإسراء: 32]
“Dan janganlah kamu mendekati zina.” (Q.S. al-Isra’: 32)
Apabila ada larangan yang tidak dihubungkan dengan sesuatu seperti waktu atau sebab-sebab lainnya, maka larangan tersebut menghendaki meninggalkan yang dilarang itu selamanya. Namun bila larangan itu dihubungkan dengan waktu, maka perintah larangan itu berlaku bila ada sebab, Seperti: Q.S.An-Nisa’:43
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْرَبُواْ الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى -٤٣
”Janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk”. (Q.S.An-Nisa’:43)

D.  Kesimpulan
Hakikat pengertian amr (perintah) adalah lafadz yang dikehendaki supaya orang mengerjakan apa yang dimaksudkan. Bentuk lafadz amar bermacam-macam diantaranya: fiil amar, fiil mudhari’ yang diawali lam amar, masdar pengganti fiil, dan beberapa lafaz yang mengandung makna perintah seperti, kutiba, amara, faradha, ‘ala. Selain itu, juga terdapat beberapa ragam (makna) amr dan beberapa kaidah tentang amr, seperti yang telah dijelaskan di atas.
Sedangkan Nahi adalah suatu lafaz yang mengandung makna tuntutan meninggalkan sesuatu yang datangnya dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya. Bentuknya yaitu fiil yang didahului oleh la nahiyah, beberapa lafaz yang mengandung makna nahi. Selain itu, dijelaskan juga beberapa kaidah-kaidah nahi serta ragam (makna) nahi, seperti yang telah dipaparkan di atas.



DAFTAR PUSTAKA
As-Sabt, Khalid bin Utsman. 2005. Mukhtashar fi Qawaid at-Tafsir. Dar Ibnu al-Qim-Dar Ibnu ‘Affan.
Djalil, A. Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2. Jakarta: Kencana.
Izzan, Ahmad. 2009.  Studi Kaidah Tafsir al-Qur’an: Menilik Keterkaitan Bahasa-Tekstual dan Makna-Kontekstual Ayat. Bandung: Humaniora.
Muchtar, Kemal. 1995. Ushul Fiqh Jilid 2. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf.
Shidiq, Sapiudin. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Shihab, M. Quraish. 2013. Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami al-Qur’an. Tangerang: Lentera Hati.
Shihab, M. Quraish. 2010. Membumikan al-Qur’an Jilid 2. Jakarta: Lentera Hati.
Suhartini, Andeni. 2012. Ushul Fiqh. Jakarta:Maktubullah.
Usman. 2009. Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras.




[1] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami al-Qur’an, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), hlm. 11.
[2] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an Jilid 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2010), hlm. 643.
[3] A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 49.
[4] Kemal Muchtar, Ushul Fiqh Jilid 2, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 26.
[5] Ahmad Izzan, Studi Kaidah Tafsir al-Qur’an: Menilik Keterkaitan Bahasa-Tekstual dan Makna-Kontekstual Ayat, (Bandung: Humaniora: 2009), hlm. 22.
[6] Ahmad Izzan, Studi Kaidah Tafsir al-Qur’an: Menilik Keterkaitan Bahasa-Tekstual dan Makna-Kontekstual Ayat, (Bandung: Humaniora: 2009), hlm. 23-25.
[7] Kamal Muchtar, Ushul Fiqh Jilid 2, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 31.
[8] A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 51-52.
[9] Ahmad Izzan, Studi Kaidah Tafsir al-Qur’an: Menilik Keterkaitan Bahasa-Tekstual dan Makna-Kontekstual Ayat, (Bandung: Humaniora: 2009), hlm. 28.
[10] Khalid bin Utsman as-Sabt, Mukhtashar fi Qawaid at-Tafsir, (Dar Ibnu al-Qim-Dar Ibnu ‘Affan, 2005), hlm. 18
[11] Khalid bin Utsman as-Sabt, Mukhtashar fi Qawaid at-Tafsir, (Dar Ibnu al-Qim-Dar Ibnu ‘Affan, 2005), hlm. 18
[12] Kamal Muchtar, Ushul Fiqh Jilid 2, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 38.
[13] Khalid bin Utsman as-Sabt, Mukhtashar fi Qawaid at-Tafsir, (Dar Ibnu al-Qim-Dar Ibnu ‘Affan, 2005), hlm. 18
[14] Kamal Muchtar, Ushul Fiqh Jilid 2, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 46.
[15] Ahmad Izzan, Studi Kaidah Tafsir al-Qur’an: Menilik Keterkaitan Bahasa-Tekstual dan Makna-Kontekstual Ayat, (Bandung: Humaniora: 2009), hlm. 29.
[16] Usman, Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 260-261.
[17] Kamal Muchtar, Ushul Fiqh Jilid 2, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 48.
[18] Khalid bin Utsman as-Sabt, Mukhtashar fi Qawaid at-Tafsir, (Dar Ibnu al-Qim-Dar Ibnu ‘Affan, 2005), hlm. 19.
[19] Andeni Suhartini, Ushul Fiqh, (Jakarta:Maktubullah,2012),  hlm. 200.
[20] Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm.183-184.
[21] Kamal Muchtar, Ushul Fiqh Jilid 2, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 52.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar